Tugas PR: Latihan atau Beban Mental?
Siapa sih yang gak pernah ngerasa males ngerjain PR? Dari SD sampai SMA (bahkan kuliah), tugas rumah alias parlay sering jadi “tamu tak diundang” di waktu santai kita. Tapi sebenernya, PR itu bermanfaat banget, atau malah cuma bikin stres dan gak produktif? Mari kita bedah satu-satu: PR itu latihan atau justru beban mental?
Awalnya PR Itu Berniat Baik, Kok
Kalau dilihat dari niat awalnya, PR itu sebenernya punya tujuan mulia:
-
Buat memperkuat pemahaman dari materi yang udah diajarin di kelas
-
Melatih kemandirian dan tanggung jawab siswa
-
Bikin proses belajar gak berhenti cuma di ruang kelas
Jadi, secara konsep, PR adalah lanjutan dari pembelajaran, bukan hukuman atau pengganggu hidup siswa.
Tapi, dalam praktiknya… sering kali berbeda cerita.
Ketika PR Jadi Sumber Stres
Faktanya, banyak siswa yang merasa PR itu malah bikin:
-
Waktu istirahat dan bermain jadi hilang
-
Tekanan mental meningkat, apalagi kalau PR-nya numpuk dari beberapa guru
-
Belajar jadi membosankan karena terlalu repetitif
-
Hubungan dengan keluarga tegang, terutama kalau PR gak selesai
Apalagi kalau siswa punya aktivitas lain seperti les, ekskul, bantu orang tua, atau bahkan kerja part-time. PR bisa jadi beban tambahan yang bikin mereka burnout.
PR yang Efektif vs PR yang Gak Masuk Akal
Biar adil, yuk bedakan mana PR yang efektif dan punya nilai buat siswa, dan mana yang cuma asal kasih tugas:
✔️ PR Efektif:
-
Relevan langsung dengan materi pelajaran
-
Jumlahnya masuk akal, bisa dikerjakan dalam waktu wajar
-
Ada umpan balik dari guru setelah dikumpulkan
-
Mendorong kreativitas atau berpikir kritis (bukan cuma hafalan)
❌ PR Gak Masuk Akal:
-
Terlalu banyak dalam waktu singkat
-
Materi belum dipahami tapi sudah diminta latihan
-
Gak pernah dikoreksi atau dibahas kembali
-
Sekadar formalitas supaya siswa “sibuk”
Kalau PR yang dikasih jatuhnya ke kategori kedua, ya wajar aja kalau siswa merasa itu bukan latihan, tapi beban mental.
Apa Kata Penelitian?
Beberapa studi internasional menyatakan bahwa:
-
PR di tingkat SD tidak memberikan dampak signifikan terhadap prestasi akademik.
-
Di jenjang SMP dan SMA, PR bisa berguna asalkan jumlah dan kualitasnya tepat.
-
PR yang terlalu banyak bisa menyebabkan penurunan motivasi belajar dan bahkan memicu kecemasan.
Jadi, bukan soal PR itu buruk atau enggak, tapi bagaimana dan seberapa banyak PR yang diberikan.
Suara dari Lapangan: Siswa & Guru
Dari sisi siswa:
“Kadang PR itu cuma bikin panik. Apalagi kalau PR Matematika, PR Bahasa Inggris, PR Fisika dikasih barengan. Ujung-ujungnya gak ngerti tapi tetap dipaksa kumpulin.”
Dari sisi guru:
“PR itu penting buat latihan. Tapi saya juga gak bisa asal kasih. Saya usahakan PR gak lebih dari 15 menit pengerjaan, dan selalu saya bahas di kelas biar mereka ngerti.”
PR bisa jadi jembatan antara siswa dan guru, kalau ada komunikasi dua arah.
Solusi: PR Modern yang Ramah Mental
Supaya PR gak jadi musuh, yuk bayangkan format PR yang lebih seru dan masuk akal:
-
PR berbasis proyek (project-based learning)
-
PR digital yang bisa dikerjakan lewat aplikasi atau game edukasi
-
PR kolaboratif: dikerjakan kelompok dan disajikan secara kreatif
-
PR yang mengaitkan pelajaran dengan kehidupan nyata
Contohnya, daripada suruh bikin 20 soal Matematika, lebih baik suruh siswa menghitung anggaran liburan keluarga pakai rumus matematika. Seru kan?
Kesimpulan
PR bisa jadi latihan yang berharga kalau diberikan dengan porsi dan cara yang tepat. Tapi jika terlalu banyak dan gak ada gunanya, PR hanya akan menjadi beban mental yang merusak semangat belajar.
Jadi, saatnya sekolah dan guru menyusun ulang cara memberikan PR. Bukan cuma asal banyak, tapi benar-benar mempertimbangkan waktu, kondisi mental, dan manfaat jangka panjangnya bagi siswa.